Sedang mencari dongeng sebelum tidur romantis yang bisa membuat hatimu hangat sebelum terlelap? "Janji di Bawah Langit Malam" adalah kisah cinta menyentuh antara Dimas dan Dina, dua sahabat masa sekolah yang dipisahkan waktu dan jarak, namun dipersatukan kembali oleh takdir. Cerita ini tidak hanya menyajikan romansa penuh makna, tapi juga mengajarkan tentang ketulusan, penantian, dan bagaimana cinta sejati selalu tahu jalan pulang.
Kisah ini cocok dibaca malam hari saat suasana tenang dan hati ingin dimanjakan oleh kisah lembut yang penuh harapan. Sebagai dongeng sebelum tidur romantis, "Janji di Bawah Langit Malam" membawa pembaca menyusuri perjalanan cinta yang tumbuh dari masa remaja, teruji oleh LDR selama tiga tahun, hingga akhirnya berujung pada pertemuan penuh haru. Cerita ini akan membekas, membuatmu percaya bahwa cinta yang sabar akan selalu menemukan akhir yang bahagia.
Di artikel kali ini Rafsablog akan berbagi sebuah cerita menarik yakni dongeng sebelum tidur romantis bisa diberikan kepada orang terdekat termasuk pacar tersayang.
Dongeng Sebelum Tidur Romantis
Janji di Bawah Langit Malam
"Janji di Bawah Langit Malam" adalah dongeng romantis sebelum tidur yang mengisahkan perjalanan cinta antara Dimas dan Dina—dua jiwa yang disatukan oleh takdir dan diuji oleh jarak, waktu, dan keadaan. Cerita ini menggambarkan bagaimana cinta sejati tidak hanya hadir dalam tawa, tetapi juga dalam luka, dalam perjuangan, dan dalam ketulusan menerima seseorang seutuhnya. Dengan balutan alur yang manis, emosional, dan penuh keajaiban, kisah ini akan membawa pembaca menelusuri jalanan takdir yang penuh liku namun berujung bahagia.
Bagian 1:
Awal dari Semua Rasa
Di sebuah kota kecil yang tenang
bernama Sukaraja, ada dua anak manusia yang hidup berdampingan sejak kecil: Dimas
dan Dina. Rumah mereka hanya dipisahkan pagar besi rendah dan pohon
mangga yang rindangnya saling menaungi halaman masing-masing. Dari kecil mereka
tumbuh bersama—bermain di selokan, naik sepeda keliling gang, menonton kartun
bareng sambil rebutan keripik.
Namun, hubungan mereka bukanlah
semanis kisah cinta anak-anak di sinetron. Justru, bisa dibilang sejak TK
mereka adalah rival. Setiap lomba mewarnai, mereka bersaing. Saat SD,
mereka berebut jadi ketua kelas. Di SMP, mereka saling sindir soal nilai
ulangan. Bahkan guru-guru pun hafal dengan celetukan khas keduanya.
“Bu, Dina nyontek nilai Dimas,
makanya dia naik ranking!”
“Ih, gak usah GR! Nilaimu naik juga karena aku selalu ngingetin PR!”
Namun, di balik mulut tajam dan
sindiran mereka, ada sesuatu yang tidak pernah mereka akui. Entah sejak kapan,
Dimas mulai merasa kehilangan ketika Dina tidak masuk sekolah. Dan Dina mulai
memperhatikan rambut Dimas setiap kali ia menyisir di depan cermin. Mereka
saling mengganggu, tapi juga saling mencari. Saling menyindir, tapi diam-diam
saling merindukan.
Lalu masa SMA tiba.
Hubungan mereka perlahan berubah,
meski tidak disadari secara langsung. Mereka kini duduk di kelas berbeda, tak
lagi bertemu setiap hari. Tapi setiap pagi, Dimas selalu berusaha berjalan
lebih lambat agar bisa 'kebetulan' bertemu Dina di ujung gang. Dina, yang
biasanya naik angkot dengan cepat, kini sering menunda dua-tiga menit hanya
untuk melihat Dimas dari jauh, pura-pura tidak sengaja.
Hingga suatu hari, langit malam
menjadi saksi pertama tumbuhnya benih cinta yang nyata.
Malam itu adalah ulang tahun Dina
yang ke-17. Ia tidak mengadakan pesta besar, hanya kumpul kecil bersama
keluarga dan beberapa teman dekat. Tapi ada satu orang yang datang paling
akhir: Dimas. Ia muncul dengan kaus sederhana dan raut wajah canggung, membawa
sesuatu yang dibungkus kertas cokelat daur ulang.
“Ini... buat kamu,” katanya lirih,
mengalihkan pandangan ke lantai teras.
Dina menerimanya pelan. Saat dibuka,
ia menemukan sebuah buku harian berwarna biru tua. Sampulnya bergambar
langit malam dengan bulan sabit kecil di pojok kanan atas. Di pojok bawah,
tertulis dengan tulisan tangan:
“Semua janji dimulai dari malam
pertama aku menyayangimu.”
Dina menatap kata-kata itu lama
sekali. Jantungnya berdebar tidak karuan. Ia membuka halaman pertama. Kosong.
Hanya ada tanggal hari itu dan coretan kecil:
"Tulis semua kenangan kita di sini. Nanti, kita baca bareng di masa
depan."
Untuk pertama kalinya, Dina tidak
bisa membalas dengan sindiran. Ia hanya menunduk, menahan senyum yang tumbuh
perlahan. Dimas menggaruk kepala, gugup setengah mati.
“Maaf ya... kalau jelek. Tapi aku...
nggak tahu kenapa, aku pengin kamu yang punya buku itu.”
Dina menatap Dimas. Matanya lembut.
“Enggak jelek. Aku suka,” katanya pelan.
Dan malam itu, di bawah langit penuh
bintang, mereka duduk berdampingan untuk pertama kalinya tanpa debat, tanpa
sindiran. Hanya ada diam yang nyaman. Bukan karena tidak ada kata, tapi karena
hati mereka sedang berbicara sendiri-sendiri—dan menemukan bahwa bahasa cinta
bisa tumbuh dari keheningan.
Langit malam menjadi saksi. Bulan
sabit menjadi penjaga. Dan di antara mereka, tumbuh rasa yang belum bisa
disebut cinta, tapi terlalu dalam untuk disebut hanya sekadar persahabatan.
Dari situlah semuanya dimulai.
-
Bagian 2:
Waktu yang Memisahkan
Musim berganti. Tahun terakhir di
SMA tiba. Dina masih menyimpan buku harian pemberian Dimas dengan rapi di dalam
laci mejanya. Setiap malam, ia menulis satu-dua kalimat kecil. Tentang harinya,
tentang mimpinya, kadang hanya satu kalimat: “Aku melihat kamu lagi hari
ini, dari jauh.”
Sementara itu, Dimas mulai
menyibukkan diri dengan les tambahan. Ia punya impian besar: masuk ke
Universitas Teknik Negeri Bandung, jurusan teknik sipil. Ia ingin membangun
sesuatu—tidak hanya jembatan dan gedung, tapi masa depan yang kokoh untuk orang
yang ia sayangi. Meskipun belum pernah benar-benar ia katakan, Dina adalah
bagian dari impian itu.
Suatu sore, setelah kelas usai,
Dimas memanggil Dina ke taman kecil belakang sekolah. Tempat yang jarang mereka
kunjungi bersama, tapi entah kenapa hari itu rasanya tempat itu menunggu
mereka.
“Aku diterima, Din,” katanya pelan.
“Di Bandung.”
Dina tersenyum, tapi sorot matanya
goyah. “Selamat ya, Dim. Aku tahu kamu pasti bisa.”
Dimas mengangguk. “Tapi itu jauh.
Empat tahun. Mungkin lebih.”
“Ya,” jawab Dina, suaranya nyaris
tak terdengar.
Ada keheningan panjang di antara
mereka. Hanya angin yang berhembus pelan dan daun-daun yang berguguran. Dina
menatap langit senja yang mulai berwarna oranye keemasan, lalu berkata:
“Kamu akan tetap nulis, kan? Di buku
itu?”
Dimas tersenyum. “Setiap malam. Dan
kamu juga. Jadi nanti, kalau kita ketemu lagi, kita tukar cerita.”
Dina menggenggam pergelangan tangan
Dimas sesaat. Genggaman yang singkat, tapi cukup untuk membuat hati keduanya
bergetar.
“Aku bakal tunggu kamu,” bisiknya.
Dan itulah awal dari jarak.
Hari-hari berikutnya, keduanya mulai
hidup di dunia yang berbeda.
Dimas tinggal di Bandung, kos di
kamar sempit yang hanya muat satu kasur, meja, dan lemari. Ia kuliah pagi,
kerja part-time sore hari di toko buku. Pulang malam, lelah, tapi setiap hari
ia masih menyempatkan membuka halaman bukunya, menulis satu kalimat untuk Dina.
Sementara itu, Dina tetap di
Sukaraja, membantu ibunya menjalankan toko kue kecil di depan rumah. Setiap
hari, ia bangun sebelum fajar, membuat adonan, mengantar pesanan. Tapi di sela
kelelahan itu, ia selalu membuka laci dan menulis. Kadang sambil menangis,
kadang sambil tersenyum kecil mengingat masa-masa mereka dulu.
Komunikasi mereka berubah. Dulu
setiap hari, kini seminggu sekali. Lalu dua minggu sekali. Kadang hanya satu
pesan pendek:
“Lagi sibuk, Din. Nanti aku kabarin
lagi, ya. Jaga diri baik-baik.”
Dina selalu membalas dengan singkat
juga:
“Iya. Semangat ya, Dim.”
Padahal setelah mengirim itu, ia
memeluk bantal dan menangis diam-diam.
Namun satu hal yang tidak pernah
hilang: di akhir setiap pesannya, Dimas selalu menulis:
“Aku belum lupa janjiku di bawah
langit malam.”
Dan itu cukup. Cukup untuk membuat
Dina bertahan, meski hatinya sering terasa hampa.
Suatu malam, saat gerimis turun
pelan, Dina membuka buku harian itu dan membaca ulang tulisan-tulisan lamanya.
Ia menemukan catatan kecil dari malam ulang tahunnya yang ke-18:
“Hari ini dia nggak bisa datang.
Tapi katanya, dia kirim bintang dari jauh. Aku tahu dia tetap ingat.”
Dan benar. Dimas mengirimkan paket
kecil. Isinya gantungan kunci berbentuk bintang logam berwarna emas, dan
catatan kecil:
“Langit kita mungkin berbeda
sekarang, tapi bintangnya tetap sama.”
Dina tersenyum sambil menahan air
mata. Ia tahu jarak tak akan mudah. Tapi ia juga tahu, rasa yang mereka tanam
bukan cinta main-main.
Tahun demi tahun berjalan. Kadang
mereka nyaris tidak mengobrol satu bulan penuh. Namun setiap ulang tahun Dina,
Dimas selalu mengirimkan sesuatu. Bukan hadiah mahal, hanya hal-hal kecil yang
bermakna: sebuah novel dengan pesan tersembunyi di halaman 143, kartu pos
bergambar langit, atau bahkan sehelai kain bermotif awan.
Dan setiap tahun, Dina menyimpan
semuanya. Satu kotak penuh kenangan yang tak pernah ia buka di hadapan orang
lain. Hanya untuk dirinya dan perasaannya sendiri.
Hingga akhirnya, tahun keempat tiba.
Tahun yang menjadi titik balik semuanya.
-
Bagian 3:
Cinta yang Bertahan di Tengah Badai
Bagi Anda yang penasaran dengan ceritanya, Anda bisa klik link di bawah. Dengan memiliki cerita versi PDF sama dengan Anda sudah mendukung penulis untuk terus berkarya.
Posting Komentar
Posting Komentar